Perempuan kerap mengalami kekerasan berbasis gender bahkan kekerasan seksual. Tapi banyak korban yang tidak berani melapor. Mereka juga khawatir jika kasusnya diketahui publik akan membuat mereka mendapat stigma negatif dari masyarakat.
Tepat sekali dengan yang disampaikan oleh Khaerul Umam Noer pada Webinar 16 Kampus Merdeka dari Kekerasan Berbasis Gender. Katanya, meskipun menjadi korban, orang cenderung enggan melaporkan adanya kekerasan seksual.
Bisa jadi karena berkaitan dengan jabatan di kampus. Selain itu, pelapor bisa jadi musuh bersama karena dianggap mencemarkan nama baik institusi. Kampus tidak terbuka jika ada kasus tersebut.
Apa yang bisa dilakukan dalam Mewujudkan Kampus Bebas Kekerasan Seksual? Kalau dia mempunyai wewenang tinggi di kampus bisa dengan mengeluarkan kebijakan tentang pencegahan dan penindakan kekerasan berbasis gender. Edukasi bahkan bisa dilakukan sejak kegiatan mahasiswa baru.
Perguruan tinggi harus memiliki mekanisme penanganannya. Bahkan perlu dibuatkan payung hukumnya. Dosen hendaknya mendorong mahasiswa untuk sadar bahaya kekerasan berbasis gender, mengedukasinya lalu memotivasi apa yang harus dilakukan ketika mengalaminya.
Mahasiswi harus waspada di tempat-tempat yang sering terjadi praktik kekerasan berbasis gender seperti parkiran, tangga, lorong-lorong, atau perpustakaan. Tempat-tempat tersebut biasanya tidak ada kamera pengawas atau CCTV. Jadi, kita harus hati-hati.
Saya yang menyimak webinar itu merasa dapat banyak ilmu. Saya mengosongkan gelas. Ilmu yang sangat bermanfaat. Saya jadi lebih terbuka dan memiliki banyak strategi untuk menyikapi kekerasan berbasis gender yang terjadi di kampus.
Perempuan memang kerap menjadi korban kekerasan berbasis gender. Perempuan dipandang lemah secara fisik dibanding laki-laki.
Prof. Alimatul Qibtiyah, Komisioner Komnas Perempuan menyatakan jumlah kekerasan berbasis gender semakin meningkat. Terutama di dunia siber.
Yang mendesak dilakukan adalah menguatkan regulasi yang sangat mempertimbangkan dampaknya pada korban. Menciptakan budaya yang zero toleransi kekerasan. (Prof. Alimatul Qibtiyah)
Hal yang cukup mengkhawatirkan, penindakan kekerasan pada anak sudah ada UU Perlindungan Anak. Kelompok usia sudah menikah ada UU KDRT. Tapi yang belum menikah dan sudah bukan anak-anak belum ada. Dan kelompok ini kebanyakan berada di perguruan tinggi.
Kekerasan seksual berbasis gender jangan dianggap remeh. Bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Perempuan kerap menjadi korban kekerasan berbasis gender..
Langkah Pencegahan
Pertama, kuatkan pengetahuan tentang kekerasan berbasis gender. Apapun bentuk kekerasan apalagi kekerasan berbasis gender tidak dibenarkan. Termasuk body shaming atau bullying secara verbal.
Kedua, bentengi dengan ilmu agama yang kuat. Dasar agama yang kuat dapat membentengi diri dari melakukan kekerasan dan/atau mampu melindungi diri dari kekerasan.
Ketiga, aktif di organisasi atau komunitas. Kalau mengalami
kasus di atas bisa dibantu oleh organisasi atau komunitas yang memiliki
kekuatan.
Kualitas perguruan tinggi ada korelasinya dengan kekerasan berbasis gender. Dari banyak penelitian melaporkan bahwa perguruan tinggi yang baik, angka kekerasan seksual rendah. Karena itu, untuk mewujudkan perguruan tinggi yang semakin berkualitas, maka pencegahan dan penanganan kekerasan seksual harus dilakukan dengan serius.
Setiap orang menjadi pelopornya. Semua harus kerja bareng dari jajaran pemangku kebijakan kampus, dosen, mahasiswa, hingga karyawan.
Lembaga mahasiswa bisa menjadi garda terdepan sebagai
mitra kampus dalam mewujudkannya. Sebagai generasi muda tentu harus paling
aktif terhadap isu-isu sosial termasuk isu gender ini.
Posting Komentar