HARGA SEBUAH PIANIKA


Judul cerita ini diberikan oleh Eyang Kakung sebelum pembicaraan via telpon ditutup setelah dua jam kami ngobrol ngalor ngidul. Obrolan yang random tapi tetap fokus dalam satu tema ‘Pendidikan’. Mulai dari obrolan seputar ketidak sesuaian antara idealita dan realita yang terjadi di Saung Harmoni, tipe-tipe kajian, evaluasi diri, rencana masa depan, target ikhtiar yang akan dilakukan, sampai cerita kisah bunda dan anak-anak pagi tadi terkait pianika yang melatar belakangi eyang secara tak langsung memberi judul tulisan ini.

Bukan hanya itu, bahkan Eyang meminta Bunda kelak bisa membukukan ragam pengalaman pengasuhan dan mengirimkan kepada beliau. Dimana beliau merasa telah melewatkan masa berharga saat merawat anak-anaknya dulu, termasuk bunda. Terharu.

Sering Bunda menceritakan bagaimana praktek pendidikan anak-anak pada eyang. Notabene eyang yang berkecimpung didunia pendidikan formal  kurang lebih 40 tahun begitu antusias dan tertarik. Bukan karena pendidikan yang Bunda lakukan hebat, tentu saja masih jauh dari sempurna. Tapi barangkali Eyang menemukan sisi lain yang berbeda, yang selama ini beliau cari, dan jawaban dari berbagai keresahan selama melakukan praktek pendidikan ternyata ketemu dari cerita-cerita Bunda.

Bunda begitu menyadari, ikhtiar pendidikan yang Bunda lakukan pada anak-anak belum tentu tepat.  Prosesnya masih pagi kedelai sore tempe alias belum istiqomah. Belum terbukti berdaya juga. Dan tentu saja sangat mungkin diragukan oleh banyak orang. Namun standar pendidikan anak bukan dari atau bahkan mencari penilaian dan simpati orang. Yang menguatkan adalah keyakinan bahwa orangtua telah Allah ciptakan sebagai pendidik terbaik untuk anak-anaknya. Hanya butuh kejernihan hati, kekuatan akal, dan selalu meminta pertolongan Allah  agar dijaga fitrah sebagai orang tua untuk modal mendidik mereka. Untuk menemukan keyakinan Itupun, Bunda butuh waktu yang sangat lama. Baru setelah itu terus berusaha percaya diri mendidik anak anak.

Lagi-lagi yang menguatkan hati adalah dengan menumbuhkan kesadaran bahwa upaya pendidikan dilakukan dalam rangka menjalankan perintah Allah, yaitu menjalankan hakikat peran sebagai  manusia. Beribadah. 

Tidaklah Kuciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku" (QS. adz-Dzariyat: 56)

Kalau sudah berusaha mendekat ke Allah, mepet-mepet ke Allah, sandarannya AllAh, minta apa-apanya ke Allah, apa iya Allah nggak akan bantu? Tentu suatu hal mustahil.

Masalah kelak anak-anak akan menjadi seperti apa dan bagaimana, itu biarlah menjadi bagian Allah. Kita tidak bisa membaca masa depan. Fokus aja pada proses. Yang pasti  tidak ada produk Allah yang gagal. Gagal atau berhasil itu hanya dalam pandangan manusia. Takdir  dari Allah semua baik  dan tentu tersimpan banyak hikmah yang mesti manusia gali dan pelajari.

Masyaallah prolognya panjang banget ya semoga tidak bosan dan harapannya ada manfaat yang bisa diambil sih. Okey lanjut ke intinya ya cerita pianika he..he…

 

HARGA SEBUAH PIANIKA

Sudah sejak sepekan lalu Mas Jundi dan dek Firaz membicarakan pianika milik temannya. Kemudian selang beberapa hari mereka bercerita lagi bahwa ada satu orang temennya juga ikut-ikutan membeli pianika. Sempat ada ungkapan juga bahwa mereka menginginkan pianika seperti milik teman-temannya. Saat itu Bunda sengaja tidak merespon terlalu dalam keinginan mereka. Karena biasanya itu hanya keinginan sesaat, lalu setelah beberapa hari lupa.

Namun ternyata prediksi bunda salah. Semalam lagi-lagi mas Jundi menyinggung soal pianika. Mas Jundi pengen punya dan belajar pianika, katanya. Bundapun bertanya berapa harga pianika dan berapa jumlah tabungan yang dimiliki. Saat itu tidak ada tindak lanjut dan malampun berlalu. Namun, pagi-pagi tadi Mas Jundi mendekati bunda yang sedang duduk di sofa ruang tamu.

“Bunda, tolong cek harga pianika dong?”pinta mas Jundi

Lalu bunda membuka sebuah aplikasi market place, kami mengecek bersama sama. Harga pianika bervariasi, mulai puluhan hingga ratusan ribu.

“Emang Mas Jundi mau yang mana?” tanya bunda penasaran.

Ternyata mas Jundi pilih harga yang murah dan pembelinya banyak, dia menunjuk pianika pilihannya seharga Rp 78.000 di layar ponsel, “Ini aja bund, masukin keranjang dulu, kalau sama ongkir berapa bund?”

“Ini dikirim dari Jakarta, kemungkinan dengan ongkir harganya jadi 90 ribu”, jelas Bunda

Kemudian mas Jundi pergi mengambil celengan kardus buatannya, dihitung ternyata uang tabungannya ada Rp 22.000

Adekpun ikutan berlari mengambil celengannya wadah bekas jajanan coklat. Dicek ada Rp 6.000

“Bunda tabungan kita cuma 28 ribu, supaya cukup beli pianika kita nggak jajan berapa hari?” mas Jundi mulai berhitung

“Setiap hari uang jajan 2 ribu, kecuali hari jumat 5ribu, jadi kalau seminggu mas Jundi baru ngumpulin  17 ribu. Kalu berdua sama adek jadinya 39ribu” terang Bunda

Mas Jundi menghitung lagi, “Berarti kalau seminggu kita nggak jajan baru kumpul 67 ribu, masih kurang Bunda”

“Ya udah kalau Mas dan Adek seminggu nggak jajan bunda ikut patungan deh, sisanya bunda yang nambahin”

“Ntar kalau mas Jundi nggk bisa tahan pengen jajan gimana?” tanyanya lagi

“ ya.. berarti beli pianikanya mundur lagi waktunya” jelas Bunda

“Ya udah deh, mas dan adek, nggak usah jajan nanti makan bekel aja. Tapi kalau kita buat salad buah di rumah boleh tidak?” mas Jundi menawar

“Boleh dong”

Alhamdulillah mereka pun tampak sumringah

“Berarti kalau hari ini mas Jundi dan adek nggk jajan, beli pianikanya besok ahad ya?”

“Iya, besok ahad bunda beli pianikanya, mungkin sampai rumah hari selasa”   

Mereka tampak gembira. Bunda sendiri merasa terharu. Suatu pencapaian yang berharga. Sebuah kesadaran bahwa untuk mencapai keinginan perlu perjuangan, kesabaran, dan juga kemampuan menahan diri. Sehingga harapannya melalui proses ini mereka bisa menghargai setiap proses.

Bunda juga menjelaskan, kalau dikasih uang jajan bisa ditabung sebagian. Jadi kalau nanti suatu saat punya keinginan atau keperluan,  minimal sudah ada tabungan. Atau kalau ingin punya tambahan tabungan bisa mulai berjualan lagi.

Mungkin jika dibandingkan teman-temannya jatah uang jajan anak-anak sangat sedikit. Pengalaman yang pernah Bunda rasakan, anak jajan intinya bukan pada banyaknya uang, atau pertimbangan jajannya bikin perut kenyang,  tapi lebih kepada sensasi saat jajan.  Karena kalau dibandingkan sebenernya bekel anak anak seringkali lebih enak dan lebih mahal dari jajanan yang dijual, tapi mereka tetep aja pengen jajan. Jadi bunda rasa dengan uang Rp 2000 mereka sudah mendapatkan sensasi jajan yang juga dirasakan teman yang lainnya. Selain itu dengan meminimalkan uang jajan, artinya akan meminimalisir asupan makanan yg tidak sehat ke dalam tubuh mereka.

Pernah suatu hari Mas Jundi negosiasi, minta uang jajannya ditambahi. Bunda coba ajak diskusi, “Kalau tidak menahan diri, uang berapapun akan kurang kalau untuk jajan. Bunda memberi uang jajan supaya mas Jundi juga merasakan jajan seperti teman yang lainnya. Bukan biar mas Jundi kenyang, karena kebanyakan jajanan di luar banyak pengawet, pewarna dan tidak sehat. Makanya bunda bawakan bekel jajanan rumah. Di rumah juga kita sering  bikin makanan salad buah, puding, roti.  Abi juga sering belikan martabak, roti, susu, jus.  insyaallah makanan yang sehat- sehat. Kalau itu diuangkan berlipat-lipat lho dari uang jajannya mas Jundi.  Jadi uang jajan dua ribu bukan karena Bunda pelit tapi karena Bunda sayang sama Mas dan Adek”

Alhamdulillah anak-anak bisa menerima dengan baik, bahkan mas Jundi pernah juga menjelaskan ke para fasilitator di sekolahnya kenapa tidak boleh jajan banyak-banyak. Masyaallah Alhamdulillah.

 

 

 

 

 

 


 

Posting Komentar